Empat Lawang - Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Empat Lawang tahun 2024 kini memasuki tahap pembuktian di Mahkamah Konstitusi (MK). Pasca pembacaan putusan dismissal dalam perkara nomor 24/PHPU.BUP-XXIII/2025 pada 4 Februari 2025, pendukung pasangan calon nomor urut 02, Joncik Muhammad dan Arifa’i, SH, tetap optimis bahwa majelis hakim MK akan menolak gugatan yang diajukan oleh kuasa hukum pasangan HBA-Henni.
Menurut Agus, salah satu pendukung JM-FAI, ada beberapa faktor yang akan menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini. Salah satunya adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 131.16-5413 Tahun 2016 yang merujuk pada putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 21/PID/TPK/2016 PT.DKI tertanggal 3 Mei 2016. Putusan tersebut menyatakan bahwa HBA terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, sehingga Mendagri memberhentikannya dari jabatan Bupati Empat Lawang pada 29 Juni 2016.
Selain itu, Agus menjelaskan bahwa selama menjalani proses hukum terkait kasus suap terhadap Ketua MK Akil Mochtar, HBA tetap menerima gaji sebagai Bupati hingga Desember 2016. Berdasarkan bukti tersebut, ia meyakini bahwa HBA telah dihitung menjabat sebagai Bupati selama dua periode, yaitu periode pertama pada 2008-2013 dan periode kedua pada 2013 hingga Juni 2016.
“Berdasarkan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 Pasal 14 huruf M, HBA sudah dikategorikan menjabat sebagai Bupati selama dua periode. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 83 ayat 1 hingga 4, juga menegaskan bahwa kepala daerah yang menjadi terdakwa diberhentikan sementara.
Setelah ada putusan inkrah, baru diberhentikan tetap. Dengan putusan inkrah Pengadilan Tinggi tertanggal 3 Mei 2016 dan SK Mendagri tertanggal 29 Juni 2016, maka masa jabatan HBA di periode kedua sudah lebih dari setengah masa jabatan. Oleh karena itu, sesuai PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang pencalonan, HBA tidak lagi memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai Bupati,” jelas Agus.
Agus juga menegaskan bahwa dalil-dalil yang diajukan dalam gugatan HBA-Henni seolah menafsirkan secara keliru beberapa putusan MK. Menurutnya, putusan tersebut lebih tepat ditujukan kepada penjabat atau pelaksana tugas kepala daerah yang hendak maju dalam Pilkada, bukan kepada kepala daerah nonaktif yang tersangkut kasus hukum.
Dalam prinsip hukum Indonesia yang menganut asas praduga tak bersalah, Agus menyebutkan bahwa seorang tersangka masih memiliki peluang untuk bebas. Oleh sebab itu, pejabat yang berstatus tersangka seharusnya hanya dinonaktifkan sementara hingga ada putusan hukum yang berkekuatan tetap (inkrah).
“Kalau seorang pejabat langsung diberhentikan saat masih menjadi tersangka, bisa kacau. Bagaimana kalau nanti dia dinyatakan tidak bersalah? Itu namanya zalim. Maka dari itu, pejabat yang tersandung kasus hukum harus dinonaktifkan dulu sampai ada putusan inkrah,” lanjut Agus.
Ia juga menyayangkan opini yang berkembang di masyarakat, seolah ada upaya penjegalan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap salah satu pasangan calon. Menurutnya, opini yang dibentuk secara masif melalui media sosial maupun dari mulut ke mulut ini justru berpotensi memecah belah masyarakat.
“Tidak semua orang pintar itu bijak. Terkadang, kepintaran disalahgunakan untuk menghasut masyarakat demi ambisi pribadi. Maling teriak maling, itu istilahnya,” ujarnya, Rabu (5/2/2025).
Agus menambahkan bahwa dalam sidang tahap pembuktian nanti, setiap pihak akan memiliki kesempatan menghadirkan empat saksi atau ahli. Pihaknya memastikan bahwa saksi dari Kemendagri dan pakar hukum terkait masa jabatan kepala daerah akan dihadirkan untuk memperjelas persoalan ini di hadapan majelis hakim.
“Kami yakin bahwa ahli-ahli dari Kemendagri akan lebih memahami aturan terkait masa jabatan kepala daerah. Mereka yang berkompeten di bidang ini akan memberikan keterangan yang objektif,” tutupnya.
(Azwan)