Bireuen - Air mata kembali tumpah. Dua dekade telah berlalu sejak bumi Aceh diguncang gempa dahsyat berkekuatan 8,9 SR pada 26 Desember 2004, disusul gelombang tsunami yang meluluhlantakkan daratan dan menghapus ratusan ribu jiwa. Hari ini, di Masjid Agung Sultan Jeumpa, Kabupaten Bireuen, masyarakat berkumpul dalam acara Zikir dan Tausiah mengenang tragedi yang terasa seperti kiamat kecil bagi Aceh kala itu.
Acara ini diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Bireuen melalui Dinas Syariat Islam. Kepala Dinas Syariat Islam Bireuen, Dr. H. Jufliwam, S.H., M.M., menyampaikan bahwa peringatan ini bukan hanya sebuah ritual, tetapi momen refleksi mendalam atas perjalanan panjang Aceh sejak tragedi itu. “Aceh yang dulu porak-poranda kini bangkit dalam perdamaian dan syariat Islam. Namun, kita tidak boleh melupakan luka yang membawa kita ke titik ini,” ujarnya dengan suara bergetar.
Tsunami yang Merenggut Segalanya
Pada hari naas itu, gelombang raksasa menyapu bersih rumah, jalan, dan nyawa. Diperkirakan 250 ribu jiwa melayang dalam hitungan detik, meninggalkan kota-kota di pesisir Aceh sebagai puing-puing bisu. “Aceh saat itu seperti dunia yang runtuh. Tapi dari puing-puing itu kita bangun semangat baru,” ungkap Penjabat (Pj) Bupati Bireuen, Jalaluddin, S.H., M.M., dalam sambutannya.
Doa dan Refleksi untuk Para Korban
Dengan suara penuh haru, Jalaluddin mengajak masyarakat untuk mengirim doa bagi mereka yang telah pergi. “Mari kita doakan agar saudara-saudara kita yang menjadi korban bencana ini diterima sebagai syuhada di sisi Allah SWT, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan serta ketabahan luar biasa,” tuturnya.
Lebih dari sekadar mengenang, Jalaluddin mengingatkan pentingnya syukur dan doa untuk kehidupan yang lebih baik. “Melalui zikir ini, kita memohon ampunan atas dosa-dosa kita, memohon perlindungan dari segala bencana, dan memupuk rasa persaudaraan. Karena tidak ada yang lebih indah di dunia ini selain hidup dalam harmoni dan kebersamaan,” tambahnya.
Harapan dalam Kebersamaan Acara yang berlangsung khidmat ini juga dihadiri oleh tokoh-tokoh penting seperti Tgk. H. Umar Ismail, S.Ag., sebagai penceramah, bersama unsur Forkopimda, anggota DPRK, tokoh ulama, dan masyarakat luas. Dalam tausiah yang disampaikan, kembali ditekankan pentingnya merawat persatuan yang menjadi kekuatan Aceh untuk bangkit.
“Kebersamaan adalah rahmat. Mari kita jaga kekuatan ini sebagai warisan berharga dari peristiwa pilu itu. Karena dari ujian yang besar, lahir kekuatan yang besar pula,” ujar Jufliwam.
Peringatan 20 tahun tsunami ini bukan hanya menjadi momen mengenang, tetapi juga momen untuk merenung dan mensyukuri karunia hidup. Semoga peristiwa besar ini terus menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang, agar Aceh terus melangkah maju dengan doa, zikir, dan persatuan yang kuat.
(Hendra)