-->
  • Jelajahi

    Copyright © Metronewstv.co.id
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Kominfo Nisel


    Dinkes Kab Nisel

    Sports

     

    Politik Uang dan Stigma Keterpilihan

    Metronewstv.co.id
    Saturday, June 3, 2023, 13:11 WIB Last Updated 2023-06-03T06:49:22Z

    Joharmiko Siregar (Penulis) saat dijumpai pada Perayaan Natal Bawaslu Provinsi Sumatera Utara Tahun 2022 lalu
    Sumut, - Wacana Pemberantasan praktek-praktek politik uang setiap hajatan demokrasi selalu menjadi salah satu issu yang paling menarik untuk digali. Bukan hanya pada Pemilu, Pilkada bahkan pada hajatan demokrasi paling rendah di negeri ini yakni Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) issu Money Politic kerap membayangi, sehingga tidak jarang bagi calon potensial mengurungkan niat maju ketika berhadapan dengan para pesaing dari kalangan pengusaha berduit dan yang didukung para pemilik modal.

    Dalam sebuah acara Rakornas Sentra Gakkumdu, Selasa, 20/09/2022 Ketua KPU RI Hasym Asy’ari pernah menyebutkan bahwa rumusan terkait politik uang sudah jelas, namun proses pembuktianya dianggap paling susah. Ia menyebutkan bahwa terdapat ambiguitas dalam sejumlah kasus politik uang, dimana satu sisi boleh diduga praktek politik uang, namun disisi lain bisa menjadi dana atau pembiayaan wajar ketika dikaitkan dengan pemberian dalam bentuk voucher atau bensin. Hampir senada dengan penyampaian Ketua Bawaslu RIRahmad Bagja (19/09/2022) bahwa pihaknya juga masih dibayangi oleh persoalan-persoalan klasik seputar politik uang dan mahar politik yang berlangsung pada proses Pemilu maupun Pilkada.


    Namun demikian bukan berarti setiap pemenang berasal dari kemenangan uang dan kekuatan modal semata. Disejumlah desa dan daerah mungkin saja keterpilihan ditentukan oleh factor lain seperti kejenuhan warga pemilih terhadap incumbent atau kepemimpinan lama. Salah satu contoh yang dapat kita lihat pada Pilkades Banyuasin yang dimenangi oleh Agus Tri Haryanto Sumatera Selatan. Seperti dilansir pada Tribunnews.com Rabu, 24 November 2021 menyebutkan bagaimana Pak Tri bisa memenangkan PILKADES bahkan tanpa Kampanye dan Uang. Kisah kemenangan langka di jaman ini.


    Secara Undang-undang (UU) ancaman terhadap Praktek Politik Uang tidak tanggung-tanggung, pada UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 misalnya, ancaman terhadap praktek politik uang bersifat variatif hingga diskualifikasi. Pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku politik uang diantaranya pasal 278, 280, 284, 515 dan 523. Secara umum ancaman terhadap pelaku sebenarnya sudah cukup kuat dimana terdapat ancaman pidana 3-4 tahun dengan denda 36-48 juta, bahkan bagi si calon akan menemui kesia-siaan ketika terbukti akan didiskualifikasi dari kemenanganya. Ini bukan sanksi yang ringan bila bisa dibuktikan dan diterapkan.


    Baca juga : Diduga Keras, Kades Labuan Rima Baru Selewengkan Dana Desa Tahun 2020 - 2022, Masyarakat Laporkan Ke APH


    Demikian halnya pada UU Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PILKADA). Pada UU nomor 10 tahun 2016 yang telah mengalami beberapakali revisi dari UU Nomor 1 tahun 2015 dan PERPU Nomor 1 tahun 2014. Larangan praktek-praktek politik uang juga tidaklah ringan. Bahkan pada UU ini disebutkan bagi pemberi dan penerima dapat dikenai sanksi Pidana (Pasal 73 ayat 1, 2 dan 3) bahkan juga berimbas kepada si calon maupun pasangan calon dengan sanksi pembatalan calon.


    Berdasarkan catatan hasil penelitian Kompas tahun 2020, Peneliti Senior Bambang setiawan pernah mengungkapkan bahwa mayoritas responden menjawab tidak melaporkan praktik politik uang terhadap pihak berwenang. Ini mengindikasikan belum maksimalnya pola atau skema pelaporan yang terdapat pada penegakan hukum terkait politik uang, sehingga responden ogah melaporkan praktek politik uang yang terlihat pada proses demokrasi kita.


    Sementara menurut Fortunatus Hamsah Manah (25 Juni 2021) berpandangan bahwa UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara terhadap penerima tidak diatur secara tegas. Pada pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi, namun tidak mengatur sanksi pidana terkait mahar politik. Ia mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan masih syarat dengan kepentingan politik.


    Tidak mudah untuk lepas dari jeratan pasal-pasal pidana dan administrasi seperti diutarakan diatas ketika salah satu calon legislative atau salah satu calon/pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pada tahapan Pemilu maupun Pilkada terjerat. Namun sebaliknya rasanya sangat sulit menemukan hingga membuktikan secara sah dan berkekuatan hukum tetap bagi para pelanggar UU Politik uang dimaksud. Pada proses ini begitu banyak tantangan yang dihadapi oleh para penyelenggara PEMILU baik dari sisi teknis, regulasi hingga dukungan pihak-pihak terkait ketika terdapat dugaan politik uang.


    Berbagai modus dan cara-cara terlarang bisa dilakukan oleh para Tim Sukses dan para calon untuk lolos dari jeratan. Salah satu modus yang paling kerap ditemukan adanya keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat, system sosial adat budaya hingga tokoh-tokoh agama, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga membutuhkan adanya sinergitas semua pihak dalam melawan Politik Uang, baik ketika Pemilu, PILKADA hingga PILKADES yang didalamnya secara turun-temurun telah tertata baik hubungan antar orang, antar kelompok Suku Agama Ras dan Budaya.


    Selain penerapan penegakan hukum pada masa tahapan, salah satu upaya jangka panjang yang bisa dilakukan oleh penegak hukum adalah dengan melakukan penelusuran pendanaan politik. Febri Diansyah (2020) pernah mengatakan bahwa paling massif praktek politik uang adalah menjelang hari pemilihan yang dilakukan oleh calon atau pasangan calon yang tidak punya integritas dengan dugaan sumber dana dari cukong. Aliran dana seperti ini perlu dilakukan penelusuran.


    Sehingga kedepan khususnya pasca pemilihan perlu dilakukan pemetaan terhadap relasi potensial yang menjadi donator terselubung khususnya di daerah-daerah. Kendati sudah kadaluarsa dari sisi waktu penanganan pelanggaran ditingkat Bawaslu, kasus-kasus seperti ini bila ditangani secara sistematis oleh penegak hukum termasuk pidananya, kedepan diharapkan bisa mengurangi praktek politik uang sejak dini. Siapapun calonya akan berpikir dua kali dalam melibatkan para cukong untuk mendanai pencalonanya. Karena akan ada proses lanjutan penegakan hukum pasca pemilihan, terlepas si calon terpilih atau tidak.


    Bawaslu selaku Pengawas, pencegah dan penyelesai Sengketa Pelanggaran akan sangat hati-hati ketika dalam suatu masalah terdapat keterlibatan para tokoh dan adat budaya. Sangat tidak mudah ketika harus dibenturkan dengan lembaga-lembaga maupun tokoh-tokoh panutan yang secara langsung maupun tidak langsung dijadikan tameng oleh para oknum calon maupun Tim Suksesnya.


    Pertanyaanya, kenapa praktek politik uang masih saja tetap terjadi dihampir setiap hajatan demokrasi.? Apakah masih kurang kuat regulasinya.? Apakah level penegakan hukumnya belum jalan.? Dan masih banyak pertanyaan-pertaanyaan lain yang muncul di benak kita ketika mendengar politik uang dalam Pemilu dan Pilkada. Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat kategorikan kedalam dua pihak yakni, pemberi (Calon dan Tim sukses) dan penerima (Masyarakat dan Tim Sukses). 


    Terlepas dari soal-soal kwalitas dan SDM-nya, terhadap para calon, motivasinya jelas untuk memastikan calon pemilihnya bisa benar-benar menjatuhkan pilihan pada saat pencoblosan nantinya. Secara teknis si calon melibatkan pihak lain seperti Tim sukses maupun oknum-oknum lembaga yang memiliki basis massa. Sementara penerima memiliki berbagai macam motivasi, mulai dari factor lingkungan, kebiasaan yang terjadi disetiap hajatan demokrasi hingga alasan ekonomi maupun factor kemiskinan. 


    Secara dominan disebabkan factor kemiskinan yang masih cukup besar di negeri ini. Kendati mengalami penurunan, namun factor kemiskinan masih sangat dominan menjadi alas an praktek politik uang. Seperti yang dirilis pada halaman website BPS tanggal 17 Januari 2022 menyebutkan Persentase penduduk miskin pada September 2021 sebesar 9,71 persen menurun 0,43 persen terhadap Maret 2021, dengan jumlah penduduk miskin sebesar 26,50 juta orang. Menurut data itu, jumlah persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2021 sebesar 7,89 persen turun menjadi 7,60 persen pada September 2021. Penduduk miskin pedesaan pada Maret 2021 sebesar 13,10 persen turun menjadi 12,53 persen pada September 2021. Disbanding Maret 2021, jumlah penduduk miskin September 2021 perkotaan turun sebanyak 0,32 juta orang (dari 12,18 juta orang pada Maret 2021 menjadi 11,86 juta orang pada September 2021) sementara penduduk miskin pedesaan turun sebanyak 0,73 juta orang (dari 15,37 juta pada Maret menjadi 14,64 juta orang pada September 2021).


    Pada data tersebut juga disebutkan bahwa garis kemiskinan pada September 2021 tercatat sebesar Rp. 486.168,-/kapita/bulan dan pada waktu yang sama secara rata-rata rumah tangga miskin Indonesia memiliki 4,50 orang orang anggota rumah tangga. Dengan besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp. 2.187.756,-/ rumah tangga miskin/bulan.


    Membaca data kondisi diatas, sesungguhnya berbanding lurus antara tujuan kesejahteraan sosial dengan pemberantasan Politik Uang yang selalu membayangi setiap pesta demokrasi di negeri ini. Adalah menjadi harapan bersama kedepan kondisi demokrasi kita tanpa Politik uang, setidaknya tidak semarak seperti yang terjadi belakangan ini. Sehingga stigma keterpilihan dengan kekuatan Uang dan Modal tidak lagi menjadi stempel dibenak para kontestan Pemilu maupun Pilkada hingga Pilkades kita.


    Kedepan kita berharap semua pihak bisa mulai melakukan upaya pencegahan dini melalui ruang-ruang yang ada dilingkungan masing-masing baik langsung maupun tidak langsung. Secara khusus kepada para pimpinan Partai Politik hendaknya bisa melakukan proses  rekruitmen keanggotan, kaderisasi dan penegakan hukum internal ketika berhadapan dengan adanya praktek-praktek politik uang. Karena akar masalah korupsi dan politik uang pada pesta demokrasi umumnya dimulai dari pihak peserta pemilu yang berpotensi menjalar kemana-mana termasuk kepada penyelenggara, pengawas dan calon pemilih.


    Oleh : Joharmiko Safril Siregar, SE

    Komentar

    Tampilkan